Antara Profesi Seorang Blogger dan Kritikus Politik di Media Sosial
ANEKA CARA BLOG - Setelah dipikir-pikir ternyata menjadi seorang Blogger sangatlah asyik daripada membahas soal isu politik di sosial media. Kadang kalau sudah baca artikel atau apa pun yang terkait politik rasanya ngeri-ngeri sedap—apalagi baca komentar dari warganet, aih, makin aduhai saja rasanya. Nyatanya, menjadi seorang Blogger itu seru. Kadang dituntut banyak ilmu untuk membuat sebuah artikel berkualitas agar memuncaki mesin pencarian—entah Google, Bing, dls. Sesekali waktu membahas soal kode-kode tertentu terkait blog, sesekali membahas soal ekspresi jiwa, sesekali pula membahas soal cara mendapatkan penghasilan dari AdSense, atau yang lainnya. Belum lagi menghadapi serangan-serangan tak terduga seperti Jingling, pengunjung palsu (autovisitor), spam, dls. Bagi Blogger, kasus semacam ini jauh lebih menantang ketimbang meladeni komentar warganet yang ujung-ujungnya memantik emosi dan saling caci maki. Walaupun sebenarnya di wilayah blog juga begitu adanya. Kadang kalau harus bicara faedah, sosial media faedahnya lebih kecil dan hanya mencetak pengguna sebagai ahli gulir dan bisa jadi waktu akan terbuang percuma hanya untuk memantau apa yang disuka dan yang tak disuka—selebihnya hanya untuk suka-suka dan penggembira. Memang tak bisa dipukul rata, dan tak semua pengguna sosial media ahli politik dan menyukai masalah politik. Ada yang menggunakan sosial media sebagai sarana jual beli, atau hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat selain untuk saling hujat atau merasa paling benar sendiri.
Di belahan bumi yang teramat jauh, ada yang berpendapat bahwa menjadi seorang Blogger hanyalah aktivitas sia-sia belaka. Tak menghasilkan dan buang-buang waktu. Namun, bagi mereka yang bergiat di bidang menulis, aktivitas di blog justru sebaliknya. Kebahagiaan yang diperoleh tak melulu soal uang. Penghasilan dari aktivitas menulis di blog adalah nomor sekian, bahkan nyaris tak penting bagi Blogger sejati. Salah satu kebahagiaan yang tak ternilai bagi Blogger adalah adanya apresiasi atas daya kreasi sekaligus jumlah lalu lintas pengunjung setiap harinya. Kesedihan mendalam bagi seorang Blogger adalah ketika blognya sepi pengunjung. Masih untung tiap hari mendapat 100 tampilan halaman, lah, kalau di bawah itu pasti karirnya menjadi Blogger sangat suram. Tiap hari, narablog berlomba meraih simpati sekaligus merebut perhatian pengunjung agar tak berpindah ke lain hati. Kalau konten yang ditawarkan ke pembaca tak menarik, pasti blog tersebut akan terpuruk. Data statistik blognya pasti tak jauh-jauh dari angka 100 per hari. Fakta ini benar-benar menyakitkan jika terjadi pada narablog.
Tentu saja, menjadi seorang blogger tak melulu tiap hari di depan komputer. Keputusan untuk terjun ke dunia blog haruslah konsisten. Setidaknya, tiap hari harus ada artikel yang ditayangkan dalam blognya. Idealnya memang harus punya pekerjaan pokok. Aktivitas menulis di blog hanyalah penyaluran bakat sekaligus cara kreatif agar tetap produktif sebagai manusia penuh daya cipta dan karsa—walaupun ada yang sukses sekaligus mendapat penghasilan dari aktivitas menulisnya di blog dengan mengikuti kompetisi ataupun dari penghasilan menayangkan iklan. Jika masih jomlo mungkin tak masalah. Tapi bagi yang sudah berkeluarga tentu tak bisa demikian. Ini hanya soal pilihan dan persepsi terhadap sebuah profesi. Bagaimana pun Blogger harus kerja dan mendapat penghasilan tiap harinya.
Beda halnya dengan kritikus politik di sosial media. Ketajaman ide dan gagasannya hanya bertahan sampai pada status baru dan komentar terbaru. Jika tak ada lagi aktivitas di status tersebut, sudah pasti tulisan tersebut tenggelam oleh status terbaru, meskipun jejak digitalnya masih tetap ada. Sedangkan tulisan atau artikel blog sampai kapan pun pasti akan terus dicari oleh orang-orang yang membutuhkan. Di lain sisi, nyaris tak ada kompetisi dalam status media sosial selain hanya pendapat pribadi. Apa yang ada—jika menulis status soal politik—tak lebih sekadar adu argumen untuk mencari siapa yang lebih unggul dalam berpendapat. Selebihnya hanya rentetan penyebaran status dari satu akun ke akun lainnya. Tentu saja beda ruang beda pula esensinya. Narablog berada pada koridornya, status media sosial juga tetap ada pada garisnya sendiri—walaupun di antara keduanya tetap bisa bersinergi. Semua pasti punya sisi lebih dan kurangnya masing-masing. Namun, narablog tetap memiliki nilai lebih dibandingkan sekadar tulisan di media sosial. Meski sama-sama memiliki kebebasan ruang dalam berekspresi, namun menjadi narablog jauh lebih teruji. Ada semacam kaidah-kaidah tertentu yang perlu diperhatikan supaya eksistensi blog tetap terjaga. Kecuali bagi narablog sekaligus aktif bermedia sosial, tentu hal itu menjadi poin penting untuk menyinergikan antara daya kreatifnya dalam dua ruang sekaligus.
Menjadi Blogger harus benar-benar berjuang agar tulisannya bisa mendapat banyak pembaca guna menaikkan peringkat di mesin pencarian. Kadang harus berjibaku dengan webmaster agar segera terindeks mesin pencarian. Harus begini dan begitu agar blognya maju dan berkembang. Kadang memerlukan banyak referensi atau data-data akurat supaya tak menyesatkan bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan menulis di sosial media cukup pasif saja—yang penting status sesuai dengan apa yang hangat diperbincangkan—sudah pasti banyak penyuka, tak suka, maupun komentar. Tak perlu pusing memikirkan indeks, kata kunci, optimalisasi mesin pencarian, dls. Status di media sosial cenderung ramai tergantung pada seberapa tingkat interaktifnya kala itu. Menjadi Blogger jauh lebih ada tuntutan lain agar tetap aktif, produktif dan kreatif menyajikan konten jika tak ingin ditinggalkan pembaca.
Sampai detik ini, masih banyak orang yang melakukan selancar di mesin pencarian. Nah, di sinilah sebenarnya kompetisi sebagai Blogger dimulai. Dari mesin pencarian inilah para calon pembaca memilih deretan judul yang tampil. Dari sini pula lalu lintas dimulai—walaupun sebagian Blogger melakukan aktivitas jelajah kolektif yakni dengan jelajah blog (Blog Walking atau disingkat menjadi BW) apabila ingin meningkatkan tampilan halaman blognya. Di antara sekian ribu judul yang muncul, satu atau dua yang dipilih—selebihnya hanyalah keberuntungan.
Jika harus berkata jujur, tentu menjadi Blogger jauh lebih berkesan daripada aktif di sosial media—yang bisa jadi hanya bisa sebar-sebar tautan yang lagi-lagi bersumber dari website atau blog tertentu. Bukankah jika hanya bisa bagi-bagi tautan dari blog tertentu di akun masing-masing menandakan kurang adanya tingkat produktivitas serta kreativitas bagi si pemilik akun tersebut?
Jika harus berkata jujur, tentu menjadi Blogger jauh lebih berkesan daripada aktif di sosial media—yang bisa jadi hanya bisa sebar-sebar tautan yang lagi-lagi bersumber dari website atau blog tertentu. Bukankah jika hanya bisa bagi-bagi tautan dari blog tertentu di akun masing-masing menandakan kurang adanya tingkat produktivitas serta kreativitas bagi si pemilik akun tersebut?
Tags: BLOGGER